Minggu, 20 Maret 2016

Toleransi Batik



Pengertian Batik

     Secara etimologi kata batik berasal dari bahasa Jawa, yaitu”tik” yang berarti titik / matik (kata kerja, membuat titik) yang kemudian berkembang menjadi istilah ”batik” (Indonesia Indah ”batik”, 1997, 14). Di samping itu mempunyai pengertian yang berhubungan dengan membuat titik atau meneteskan malam pada kain mori. Menurut KRT.DR. HC. Kalinggo Hanggopuro (2002, 1-2) dalam buku Bathik sebagai Busana Tatanan dan Tuntunan menuliskan bahwa, para penulis terdahulu menggunakan istilah batik yang sebenarnya tidak ditulis dengan kata”Batik” akan tetapi seharusnya”Bathik”. Hal ini mengacu pada huruf Jawa ”tha” bukan ”ta” dan pemakaiaan bathik sebagai rangkaian dari titik adalah kurang tepat atau dikatakan salah. Berdasarkan etimologis tersebut sebenarnya batik identik dikaitkan dengan suatu teknik (proses) dari mulai penggambaran motif hingga pelorodan. Salah satu yang menjadi ciri khas dari batik adalah cara pengambaran motif pada kain ialah melalui proses pemalaman yaitu mengoreskan cairan lilin yang ditempatkan pada wadah yang bernama canting dan cap.

Sejarah Perkembangan Batik

    Ditinjau dari perkembangan, batik telah mulai dikenal sejak jaman Majapahit dan masa penyebaran Islam. Batik pada mulanya hanya dibuat terbatas oleh kalangan keraton. Batik dikenakan oleh raja dan keluarga serta pengikutnya.
Kebermaknaan Batik Kraton
Motif Batik Larangan. Dalam masyarakat kraton jawa,membatik dianggap sebagai kegiatan pengabdian kepada raja. Batik Kraton Batik kraton adalah jenis batik yang dikembangkan dan digunakan di lingkungan keraton.Motif dan penggunaannya diatur dengan norma-norma kraton. Selain proses pembuatannya yang rumit dan selalu disertai dengan serangkaian ritual khusus,batik juga mengandung filosofi tinggi yang terungkap dari motifnya.Hal ini terkait dengan sejarah penciptaan motif batik sendiri yang biasanya diciptakan oleh sinuwun,permaisuri atau putri-putri kraton yang semuanya mengandung falsafah hidup tersendiri bagi pemakainya. Hal ini disebabkan pada awalnya motif-motif tertentu dilarang dikenakan oleh masyarakat umum,kecuali oleh kerabat 
kraton.
 
 Motif larangan tersebut dicanangkan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785.Pola batik yang termasuk larangan antara lain:
Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh,Parang Klithik,Semen Gedhe Sawat Gurdha,Semen Gedhe Sawat Lar,Udan Liris,Rujak Senthe,serta motif parang-parangan yang ukurannya sama dengan parang rusak. Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta,segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik,diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan Keraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan budaya,termasuk pula khazanah batik. Kalaupun batik di Keraton Surakarta mengalami beragam inovasi,namun sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik Keraton Yogyakarta.Ketika tahun 1813,muncul Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta akibat persengketaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles,perpecahan itu ternyata tidak melahirkan perbedaan mencolok pada perkembangan motif batik tlatah tersebut. Menurut KRAy SM Anglingkusumo,menantu KGPAA Paku Alam VIII,motif-motif larangan tersebut diizinkan memasuki tlatah Keraton Puro Pakualaman,Kasultanan Surakarta maupun Mangkunegaran.Para raja dan kerabat ketiga kraton tersebut berhak mengenakan batik parang rusak barong sebab sama-sama masih keturunan Panembahan Senopati. Batik tradisional di lingkungan Kasultanan Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam tampilan warna dasar putih yang mencolok bersih.Pola geometri Keraton Kasultanan Yogyakarta sangat khas,besar-besar,dan sebagian diantaranya diperkaya dengan parang dan nitik.Sementara itu,batik di Puro Pakualaman merupakan perpaduan antara pola batik Keraton KasultananYogyakarta dan warna batik Keraton Surakarta. Jika warna putih menjadi ciri khas batik Kasultanan Yogyakarta,maka warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas batik Keraton Surakarta.Perpaduan ini dimulai sejak adanya hubungan keluarga yang erat antara Puro Pakualaman dengan Keraton Surakarta ketika Sri Paku Alam VII mempersunting putri Sri Susuhunan Pakubuwono X.Putri Keraton Surakarta inilah yang memberi warna dan nuansa Surakarta pada batik Pakualaman,hingga akhirnya terjadi perpaduan keduanya. Dua pola batik yang terkenal dari Puro Pakulaman,yakni Pola Candi Baruna yang tekenal sejak sebelum tahun 1920 dan Peksi Manyuro yang merupakan ciptaan RM Notoadisuryo.Sedangkan pola batik Kasultanan yang terkenal,antara lain:Ceplok Blah Kedaton,Kawung,Tambal Nitik,Parang Barong Bintang Leider,dan sebagainya. Begitulah.Batik painting pada awal kelahirannya di lingkungan kraton dibuat dengan penuh perhitungan makna filosofi yang dalam.Kini,batik telah meruyak ke luar wilayah benteng istana menjadi produk industri busana yang dibuat secara massal melalui teknik printing atau melalui proses lainnya.Bahkan diperebutkan sejumlah negara sebagai produk budaya miliknya. Dalam masyarakat kraton jawa,membatik dianggap sebagai kegiatan pengabdian kepada raja. Beberapa motif kraton antara lain sebagai berikut:
a. Sawat
b. Parang rusak
c. Cemukiran
d. Sembagen Huk
e. Kawung
f. Semen
g. Alas-alasan
h. Sidomukti–sidoluhur–sidoasih-sidomulya
i. Truntum
j. Pisan bali
k. Madubranta Batik Larangan menurut Fungsi dan Filosofinya
l. Ciptoning
m. SEGARAN CANDI BARUNA
n. ABIMANYU
o. Sekar Jagad
p. Grompol atau Grombol
q. Tambal
r. Udan Riris
s. RUJAK SENTHE

toleransi batik pada masa saat ini

    batik yang dulu hanya berputar pada keraton dan hanya keluarga keraton yang boleh mengenakan pakaian batik, karena batik tersebut memiliki filosofi yang tinggi dan pembuataanya yang susah memalui beberapa ritual sebelum membatik. Sekarang siapapun boleh mengenakan batik seolah batik bukan lagi milik keraton tetapi milik masayrakat luas. Karena toleransi terhadap batik yang terlalu berlebihan tersebut batik sekarang sudah banyak kesalahan dalam segi pembuatannya dan juga pemakaian batik, batik bukan lagi elegan dan bermakna filosofi tinggi. Hal ini di karenakan pemikiran manusia yang ingin terus maju tetapi tidak memikirkan apa sejarahn yang telah di alami  batik batik tersebut.
            Contoh toleransi
            Masyarakat luas sudah bisa merasakan, memakai dan membuat batik. Dan batik sudah milik masyarakat luas bukan lagi milik keraton. Walau masih tetap ada adab batik keraton sebagaimana semestinya. 
            Sudah banyak perkembangan motif motif batik, sudah banyak daerah membuat cirikhas batik mereka sendiri.
            Batik sekarang sudah menjadi komoditas perdagangan
Toleransi yang terlalu berlebihan
          batik sablon. Apa itu bisa di sebut batik? Padahal salah satu syarat batik adalah adanya proses pembuatan menggambar menggunakan malam dan di lakukan menggunakan tangan kosong, sedangkan batik sablon itu hanya melalu proses cetak dan tidak menggunankan tangan kosong saat menggambarnya. Sedangkan batik cap apa itu juga bisa di sebut batik? Kemungkinan masih bisa, karena dalam proses batik cap masih menggunakan malam sebagai dasar pembuatan batik.
            Gambar batik yang bukan tempatnya, seperti kata salah satu dosen yang mengajar saya. Batik itu memiliki filosofi tinggi dan alangkah lebih baik dan bijak jangan di gunakan asal asalan serta bukan pada tempatnya. Dalam masalah ini saya melihat gambar batik pada sebuah kendaraan umum, mungkin bermaksud baik karena untuk memperkenalkan serta memberi edukasi terhadap yang melihatnya. Tetapi dalah segi ini batik tersebut adalah batik katon keraton batik larangan yang memiliki filosofi tinggi dan melalui beberapa ritual dank arena setiap corak itu mewakili dan menunjukan status pemakainya.


Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar